Rabu, 22 April 2015

Migrasi ke Minimarket


Begitu marak waralaba minimarket di lingkungan kita. Sesuai dengan animo masyarakat yang merasa lebih nyaman dan menyenangkan saat berbelanja ke minimarket yang sering digolongkan sebagai ritel modern. Apapun bentuknya sesuatu yang belum diketahui pun dipelajari akan condong menjadi sesuatu yang sulit dan ribet. Tetapi ketika sesuatu yang asing itu sudah dikenal dan dimengerti maka insyaalah sebagian besar masalah akan bisa ditemukan solusinya. 
Begitupun dengan minimarket. Bukan hal yang sulit kalo kita sudah tahu pola pengelolaannya. Bagaimana menata ruang dan pemajangan, bagaimana menata barang, SOP karyawan pn juga saat menghandle dan mendatangkan sales..



Tidak harus dengan waralabapun  bisa kita mulai untuk migrasi ke Minimarket. Toko Fathria sebagai salah satu toko kelontong kecil yang memulai usaha tahun 2007, setelah bertahun bertahan dengan toko kelontong tradisional dengan penataan barang dan pelayanan pada umumnya, maka baru 2012 memprogramkan untuk hijrah ke minimarket. 
Dengan pertimbangan konsumen disekitar yang note bene sudah semakin banyak kalangan modern yang lebih enjoy dengan sistem minimarket. Begitupun pertimbangan kemampuan usaha apakah akan mampu memenuhi biaya operasional yang tentu saja juga akan berbeda dengan toko tradisional.

Sewaktu  Fathria masih dengan manajemen tradisional cukuplah denan karyawan  dua bahkan satu pun cukup, listrik juga cuma 50 000 sampai dengan 100 000 dengan daya 900. buka cuma sampai jam 17.00.  Sementara untuk minimarket  yang buka mulai pukul 07.00 sampai dengan 20.30 malka karyawan idieal minim 4 orang , terbagi dalam shif siang dan malam. biaya listrik juga semakin banyak karena kelengkapan sarana seperti, komputer, cooler, penerangan yang lebih banyak, ac ataupun kipas angin dan juga neon box sehingga daya perlu dinaikkan 2200. 

Melalui survei kelayakan , pengamatan dan persiapan selama satu tahun, renovasi toko sampai dengan memutuskan untuk mengganti menjadi minimarket yang non wara laba. Alhamdulillah bisa terlaksana. dan alhamdulillah omsetpun naik dan memenuhi standar untuk bisa tetep eksis dengan minimarket.
Ada hal unik dari kasus toko Fathria, karena ada beberapa konsumen rutin yang memerlukan barang2 yang tetap khasnya toko tradisional, yaitu aneka tepung curah, minyak goreng curah dan beras curah. sehungga hal ini tetap harus dipertahankan persediaannya dengan tetap memperhitungkan kondisi penataan barang yang sudah berbeda. Solusinya semua kebutuhan itu disediakan dalam takaran sesuai kebutuhan konsumen...
 Di wilayah Klaten saja buanyak minimarket baru yang non waralaba, diklaten selatan ada Ayu swalayan, Handa swalayan, A swalayan, Kharisma swalayan,  di wedi ada Adimas swalayan , London swalayan, Lucy Mart, Lestari swalayan,  merambah dari Bayat sampai dengan cawas  Syukur Swalayan, Ayu swalayan 2, Barata , Purwa mart dan masih bberapa lagi yang masing-masing punya prospekpenjualan yang bagus.

Kalau dilihat sepintas perbedaan antara toko tradisional dengan minimarket antara lain :
1. Pemajangan barang secara terbuka sehingga konsumen menjadi lebih leluasa dalam menentukan pilihan belanjaannya tanpa harus banyak melibatkan penjual ataupun pramuniaga.
2. Harga yang stabil karena semua data sudah tertera dalam operasional kasir. Sementara pada toko tradisional terkadang harga bisa berubah sesuai dengan spontanitas penjual.
3. Pembeli bisa memilih dan mengambil sendiri sehingga bisa mempercepat proses jual beli, serta memberikan kepuasan dengan barang pilihannya.
4. penataan minimarket juga membuat konsumen cenderung merasa lebih nyaman untuk berbelanja. banyak kasus bapak2 enggan berbelanja ke toko tradisional karena harus antri dan banyak komunikasi dengan penjual. Sementara di minimarket tinggal ambil dan pilih barang sesuai kebutuhan .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar